Selasa, 30 November 2010

Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah

Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan mem­berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sum­ber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun kope­rasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif de­ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi inves­tasi dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advo­kasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepa­da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fung­si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.

Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonomi menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar.

Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha­dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre­dit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demi­kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae­rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah akan dapat mendesentralisasi pengem­bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan me­num­buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope­rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.

Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengem­bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat­nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendo­rong pengem­bang­an lembaga penjamin kredit di daerah.

Posisi Koperasi dalam Perdagangan Bebas

Esensi perdagangan bebas yang sedang diciptakan oleh ba­nyak negara yang ingin lebih maju ekonominya adalah meng­­hilangkan sebanyak mungkin hambatan perdagangan inter­nasional. Melihat arah tersebut maka untuk melihat dampak­nya terhadap perkembangan koperasi di tanah air dengan cara mengelompokkan koperasi ke dalam ketiga kelompok atas dasar jenis koperasi. Pengelompokan itu meliputi pembedaan atas dasar: (i) koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi, (ii) koperasi konsumen atau koperasi kon­sumsi, dan (iii) koperasi kredit dan jasa keuangan. Dengan cara ini akan lebih mudah mengenali keuntungan yang bakal timbul dari adanya perdagangan bebas para anggota koperasi dan anggota koperasinya sendiri.

Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang meru­pa­kan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh per­dagangan bebas dan berbagai liberalisasi. Koperasi pertanian di seluruh belahan dunia ini me­mang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk sub­sidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka produksi barang yang dihasilkan oleh ang­gota koperasi tidak lagi dapat menikmati perlindungan seper­ti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari ne­gara lain yang lebih efisien.

Untuk koperasi-koperasi yang menangani komoditi sebagai pengganti impor atau ditutup dari persaingan impor jelas hal ini akan merupakan pukulan be­rat dan akan menurunkan perannya di dalam percaturan pa­sar kecuali ada rasionalisasi produksi. Sementara untuk koperasi yang menghasilkan barang pertanian untuk ekspor seperti minyak sawit, kopi, dan rempah serta produksi pertanian dan perikanan maupun peternakan lainnya, jelas perdagangan bebas merupakan peluang emas. Karena berbagai kebebasan tersebut berarti membuka peluang pasar yang baru. Dengan demikian akan memperluas pasar yang pada gilirannya akan merupakan peluang untuk pening­katan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan. Dalam konteks ini koperasi yang menangani produksi per­tanian, yang selama ini mendapat kemudahan dan per­lin­dungan pemerintah melalui proteksi harga dan pasar akan meng­hadapi masa-masa sulit. Karena itu koperasi produksi ha­rus merubah strategi kegiatannya. Bahkan mungkin harus me­reorganisasi kembali supaya kompatibel dengan tantangan yang dihadapi. Untuk koperasi produksi di luar pertanian memang cukup sulit untuk dilihat arah pengaruh dari liberalisasi perdagangan terha­dapnya. Karena segala sesuatunya akan sangat tergan­tung di posisi segmen mana kegiatan koperasi dibedakan dari para anggotanya. Industri kecil misalnya sebenarnya pada saat ini relatif berhadapan dengan pasar yang lebih terbuka. Artinya mereka terbiasa dengan persaingan dengan dunia luar untuk memenuhi pemintaan ekspor maupun berhadapan dengan ba­rang pengganti yang diimpor. Namun cara-cara koperasi juga dapat dikerjakan oleh perusahaan bukan koperasi.

Secara umum koperasi di dunia akan menikmati manfaat be­sar dari adanya perdagangan bebas, karena pada dasarnya per­dagangan bebas itu akan selalu membawa pada persaingan yang lebih baik dan membawa pada tingkat keseimbangan har­ga yang wajar serta efisien. Peniadaan hambatan per­da­gangan akan memperlancar arus perdagangan dan terbukanya pilih­an barang dari seluruh pelosok penjuru dunia secara be­bas. Dengan demikian konsumen akan menikmati kebebasan un­tuk memenuhi hasrat konsumsinya secara optimal . Meluas­nya konsumsi masyarakat dunia akan mendorong meluas dan mening­katnya usaha koperasi yang bergerak di bidang konsumsi. Selain itu dengan peniadaan hambatan perdagangan oleh pe­merintah melalui peniadaan non torif barier dan penurunan ta­rif akan menyerahkan mekanisme seleksi sepenuhnya kepada ma­syarakat. Koperasi sebenarnya menjadi wahana masyarakat un­tuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang timbul aki­bat perdagangan.

Kegiatan koperasi kredit, baik secara teoritis maupun em­pi­ris, terbukti mempunyai kemampuan untuk membangun seg­men­tasi pasar yang kuat sebagai akibat struktur pasar keuang­an yang sangat tidak sempurna, terutama jika menyangkut masa­lah informasi. Bagi koperasi kredit keterbukaan perda­gangan dan aliran modal yang keluar masuk akan meru­pakan kehadiran pesaing baru terhadap pasar keuangan, na­mun tetap tidak dapat menjangkau para anggota koperasi. Apa­bila koperasi kredit mempunyai jaringan yang luas dan me­nu­tup usahanya hanya untuk pelayanan anggota saja, maka seg­mentasi ini akan sulit untuk ditembus pesaing baru. Bagi koperasi-koperasi kredit di negara berkembang, ada­nya globalisasi ekonomi dunia akan merupakan peluang untuk menga­dakan kerjasama dengan koperasi kredit di negara maju dalam membangun sistem perkreditan melalui koperasi. Koperasi kredit atau simpan pinjam di masa mendatang akan menjadi pilar kekuatan sekitar koperasi yang perlu diikuti oleh dukungan lainnya seperti sistem pengawasan dan jaminan.

kemanfaatan koperasi

Secara teoritis sumber kekuatan koperasi sebagai badan usaha dalam konteks kehidupan perekonomian , dapat dilihat dari kemampuan untuk menciptakan kekuatan monopoli dengan derajat monopoli tertentu . Tetapi ini adalah kekuatan semu dan justru dapat menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat di luar koperasi. Sumber kekuatan lain adalah kemampuan memanfaatkan berbagai potensi external economies yang timbul di sekitar ke­giat­an ekonomi para anggotanya. Dan kehematan tersebut ha­nya dapat dinikmati secara bersama-sama, termasuk dalam hal menghindarkan diri dari adanya external diseconomies itu.

Kehematan-kehematan yang dapat menjadi sumber kekuatan ko­perasi memang tidak terbatas pada nilai ekonomis nya sema­ta. Kekuatan itu juga dapat bersumber dari faktor non-ekono­mis yang menjadi faktor berpengaruh secara tidak langsung ter­hadap kegiatan ekonomi anggota masyarakat dan badan usaha koperasi . Sehingga manfaat atau keuntungan koperasi pada dasarnya selalu ter­kait dengan dua jenis manfaat, yaitu yang nyata (tangible) dan yang tidak nyata (intangible). Kemanfaatan koperasi ini ju­ga selalu berkaitan dengan keuntungan yang bersifat eko­no­mi dan sosial. Karena koperasi selain memberikan keman­fa­atan ekonomi juga mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap aspek so­sial seperti pendidikan, suasana sosial kemasyarakatan, ling­kungan hidup, dan lain-lain. Pembahasan ini difokuskan kepa­da manfaat yang mendasari digunakannya mekanisme koperasi .

Dalam hal ini koperasi mempunyai kekuatan yang lain kare­na koperasi dapat memberikan kemungkinan pengenalan teknologi baru melalui kehematan dengan mendapatkan infor­masi yang langsung dan tersedia bagi setiap anggota yang me­mer­lukannya. Kesemuanya itu dilihat dalam kerangka peran­­an koperasi secara otonom bagi setiap individu anggotanya yang te­lah memutuskan menjadi anggota koperasi. Dengan de­mi­kian sepanjang koperasi dapat menghasilkan kemanfaatan ter­sebut bagi anggotanya maka akan mendorong orang untuk ber­koperasi karena dinilai bermanfaat.

Dalam konteks yang lebih besar koperasi dapat dilihat se­ba­gai wahana koreksi oleh masyarakat pelaku ekonomi, ba­ik produsen maupun konsumen, dalam memecahkan kega­gal­an pasar dan mengatasi inefisiensi karena ketidaksempur­na­an pasar. Secara teoritis koperasi akan tetap hadir jika terjadi ke­gagalan pasar. Jika pasar berkembang semakin kompetitif se­cara alamiah koperasi akan menghadapi persaingan dari da­lam. Karena segala insentif ekonomi yang selama ini didapat ti­dak lagi bisa dimanfaatkan. Sehingga sumber kekuatan untuk tetap mempertahankan hadirnya koperasi terletak pada ke­mam­­puan untuk mewujudkan keuntungan tidak langsung atau intangible benefit yang disebutkan di muka.

Dalam kerangka yang lebih makro suatu perekonomian me­ru­pakan suatu bangunan yang terdiri dari berbagai pelaku yang dikenal dengan kelompok produsen dan kelompok kon­sumen. Di dalam suatu negara berkembang organisasi ekono­mi dari masing-masing pelaku tadi menjadi semakin kompleks. Ka­rena selain pemerintah dan swasta (perusahaan swasta) se­be­nar­nya masih ada dua kelompok lain yaitu koperasi dan sek­tor rumah tangga. Kelompok yang disebut terakhir, perlu men­dapatkan pencermatan tersendiri, karena mungkin ia dapat bera­da di dalam koperasi, atau menjadi suatu unit usaha sen­diri, atau merupakan pendukung usaha swasta yang ada. Inilah yang sebenarnya perlu kita lihat dalam kerangka yang lebih luas.

Secara konseptual dan empiris, mekanisme koperasi me­mang diperlukan dan tetap diperlukan oleh suatu perekonomi­an yang menganut sistem pasar. Besarnya peran tersebut akan sangat tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta struktur pasar dari berbagai kegiatan ekonomi dan sumber daya alam dari sua­tu negara. Contoh klasik dari pentingnya kondisi pasar yang kompatibel dengan kehadiran koperasi adalah pengalaman koperasi susu dimana-mana di dunia ini selalu menjadi contoh sukses (kasus bilateral monopoli). Padahal sukses ini tidak selalu dapat diikuti oleh jenis kegiatan produksi pertanian lainnya. Koperasi sebagai mekanisme kerjasama ekono­mi juga tidak mengungkung dalam sistemnya sendiri yang ter­ba­tas pada sistem dan struktur koperasi, tetapi dalam inte­rak­si dapat meminjam mekanisme bisnis yang lazim dipakai oleh badan usaha non-koperasi. Termasuk dalam hal ini pem­ben­tukan usaha yang berbentuk non koperasi untuk memper­ta­hankan kemampuan pelayanan dan menegakkan mekanisme koperasi yang dimiliki.

KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA EKONOMI RAKYAT

Koperasi sebagai sebuah lembaga ekonomi rakyat telah lama dikenal di
Indonesia, bahkan Dr. Muhammad Hatta, salah seorang Proklamator Republik
Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, mengatakan bahwa Koperasi adalah
Badan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan
mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas
dasar persamaan hak dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya[1].
  
Menurut UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam Bab I, Pasal 1,
ayat 1 dinyatakan bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasar
atas asas kekeluargaan. Sedangkan tingkatan koperasi dalam UU tersebut dikenal
dua tingkatan, yakni Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi Primer
adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang, dan
Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan
Koperasi.

Tujuan pendirian Koperasi, menurut UU Perkoperasian, adalah memajukan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut
membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Secara konsepsional, Koperasi sebagai Badan Usaha yang menampung pengusaha
ekonomi lemah, memiliki beberapa potensi keunggulan untuk ikut serta memecahkan
persoalan social-ekonomi masyarakat. Peran Koperasi sebagai upaya menuju
demokrasi ekonomi secara kontitusional tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun
dalam perjalanannya, pengembangan koperasi dengan berbagai kebijakan yang telah
dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, keberadaannya masih belum
memenuhi kondisi sebagaimana yang diharapkan masyarakat[2].

Secara kuantitatif jumlah koperasi di Indonesia cukup banyak, berdasarkan
data Departemen Koperasi & UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang
aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT)
hanya 35,42% koperasi saja. Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan
koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti
tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para
anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif
kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak
luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.

Dalam teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan Koperasi dan usaha
kerakyatan harus berbasiskan kepada dua pilar:[3]
1. Tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat;
2. Berfungsinya aransmen kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi
yang effektif.

Namun dalam kenyataan yang dirasakan hingga saat ini, seringkali terjadi
debat publik untuk menegakkan kedua pilar utama di atas hanya terjebak pada
pilihan kebijakan dan strategi pemihakan yang skeptis dan cenderung
mementingkan hasil daripada proses dan mekanisme yang harus dilalui untuk
mencapai hasil akhir tersebut.

Di samping lembaga Koperasi yang telah dikenal, saat ini juga berkembang
lembaga Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang merupakan lembaga pendukung kegiatan
ekonomi masyarakat kecil bawah (golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan
sistem ekonomi Syariah Islam. Badan Hukum dari BMT dapat berupa Koperasi untuk
BMT yang telah mempunyai kekayaan lebih dari Rp 40 juta dan telah siap secara
administrasi untuk menjadi koperasi yang sehat dilihat dari segi pengelolaan
koperasi dan baik (“thayyiban”) dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihan
para pengurus yang telah mengelola BMT secara Syariah Islam. Sebelum berbadan
hukum koperasi, BMT dapat berbentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
yang dapat berfungsi sebagai Pra Koperasi.

Tujuan berdirinya BMT adalah guna meningkatkan kualitas usaha ekonomi bagi
kesejahteraan anggota, yang merupakan jamaah masjid lokasi BMT berada pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan
ekonomi umat sebagai bagian dari pembangunan ekonomi kerakyatan, maka sudah
seharusnya memanfaatkan dan memberdayakan Koperasi dan BMT sebagai lembaga yang
menghimpun masyarakat ekonomi lemah dengan mengembangkan iklim usaha dalam
lingkungan sosial ekonomi yang sehat dan menggandeng lembaga-lembaga
pemerintahan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan Lembaga
Perbankan Syariah , yang sedang berkembang saat ini di Indonesia, dalam sebuah
bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial koperasi, bantuan pengembangan
perangkat dan sistem keuangan mikro, serta kerjasama pendanaan dan pembiayaan .

Dengan membuat sebuah program kemitraan bagi BMT, maka diharapkan dapat
mengembangkan usaha-usaha mikro, sebagai pelaku utama ekonomi kerakyatan, yang
akan sulit jika dibiayai dengan menggunakan konsep perbankan murni, dan di sisi
lain kemitraan ini juga akan meningkatkan kemampuan Koperasi dan BMT sebagai
lembaga keuangan alternatif yang akhirnya program ekonomi Kerakyatan yang
didengung-dengungkan selama ini dalam mencapai visi mencapai kesejahteraan
lahir dan bathin, insya Allah akan dapat terwujud. Namun sebelum mewujudkan
visi masyarakat sejahtera lahir dan bathin, kita harus menyadari bahwa makna
kesejahteraan yang ingin dicapai bukan hanya dari sisi materi semata, tetapi
lebih dari itu yakni mempunyai ketersinggungan dengan apek ruhaniah yang juga
mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan social ekonomi,
kesucian kehidupan, kehormatan individu, kebersihan harta, kedamaian jiwa dan
kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat,
sehingga mendiskusikan konsep kesejahteraan tersebut tidak terbatas pada
variable-variabel ekonomi semata, melainkan juga menyangkut moral, adat, agama,
psikologi, sosial, politik, demografi, dan sejarah[4] .


Minggu, 21 November 2010

analisis manajemen modal bank

ABSTRAK

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Supaya bank tetap dapat melakukan aktivitasnya, maka bank harus dapat memenuhi standar kecukupan modal yang harus dimiliki setiap dalam upaya untuk melindungi dari risiko yang mungkin timbul dalam menjalankan kegiatan usahanya. Apabila sebuah bank telah memiliki modal yang mencukupi, maka bank tersebut memiliki sumber daya financial yang cukup untuk berjaga-jaga terhadap potensi kerugian. Dengan demikian jika risiko kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) sudah dapat terpenuhi maka akan mampu meningkatkan kemampuan bank dalam meningkatkan laba.

Kata kunci : bank, sumber daya financial, risiko kecukupan modal ( capital adequacy ratio )

PENDAHULUAN

Keberlangsungan hidup suatu barang sangat tergantung dari kecakupan modal yang dapat menggerakan operasional bank. Pengertian modal yang cukup atau sehat masih menjadi perdebatan antara praktisi dengan regulator. Perbedaan pandangan tersebut disebabkan oleh perbedaan kepentingan. Setiap bank mempunyai karakteristik leverage dan tingkat insolvency yang berbeda sehingga setiap bank bisa memiliki modal yang berbeda dengan bank lain. Namun otoritas pengawas bank ( bank sentral ) lebih melihat pada kemampuan bank melindungi dana masyarakat, sebaran risiko dan kepentingan makro terkait stabilitas system keuangan/perbankan. Perbedaan pandangan tersebut kemudian disepakati oleh lembaga perbankan internasional yang dituangkan dalam basel accord ll yang mempertimbangkan risiko pasar, risiko kredit dan risiko lainnya dalam penentuan kecukupan modal.

Beberapa teori permodalan bank memang memberikan pedoman dalam pengambilan keputusan manajemen bank, namun di sisi lain bank sebagai lembaga yang tunduk pada regulasi harus tetap memperhatikan kecukupan modal dalam perspektif regulator. Misalnya secara konseptual bahwa pemilikan modal bank yang terlalu besar di pandang tidak efisien, namun modal besar akan mengarahkan pemegang saham bertindak berhati-hati ( prudent ) dalam mengelola bank sebaliknya modal yang terlalu kecil akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut dan berpotensi menimbulkan moral hazard. Oleh karena itu standar kecukupan modal diperlukan agar dapat menjamin keunikan pelayanan bank, melindungi bank dari kegagalan ( risiko ) serta menjamin keberlanjutan bank.

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa teori permodalan dan prinsip dasar manajemen modal bank. Topik regulasi kecukupan modal bank juga dibahas beserta konsekuensinya bagi pemegang saham perbankan. Hal ini penting untuk membantu stakeholder tertentu dalam mengawasi perilaku pemegang saham ( bank ) terkait pelonggaran ( penurunan persyaratan modal ) dan pengetatan ( kenaikan persyaratan modal bank ). Beberapa teori permodalan :

1. Trade off theory atau balancing theory menurut miller and Modigliani ( MM )

Dengan meningkatnya penggunaan utang ( D ), maka keuntungan ( berupa penghematan pajak ) dari penggunaan utang juga akan semakin besar, namun disisi lain, present value ( pv ) biaya kebangkrutan ( financial distress ) dan pv agency cost juga meningkat. Dengan demikian, penggunaan utang akan menigkatkan nilai perusahaan ( bank ) namun hanya sampai pada titik tertentu dan setelah titik tersebut tercapai, maka penggunaan utang justru akan menurunkan nilai perusahaan ( bank ) karena kenaikan keuntungan dari penggunaan utang tidak sebanding dengan kenaikan financial distress dan agency cost. Titik balik ( pada D/E ratio sebesar B ) tersebut merupakan struktur modal yang optimal dan jumlah utang yang optimal seperti tampak pada Gambar 8.1 di bawah ini. Dalam pengukurannya untuk besaran indikasi truktur modal yang optimal dapat digunakan debt equity ratio atau rasio utang terhadap modal, tapi model ini juga tidak mampu menjelaskan kapan titik balik terjadi dan berapa modal yang optimal.mesipun demikian model ini memberikan indikasi bagi perbankan untuk hati-hati menentukan modal dan dana masyarakat,sebab komposisi yang tidak tepat akan menimbulkan kebangkrutan bank.

firm value, v “ Pure” MM Firm Value




Financial distress & agency cost







vu Actual Firm Value

firm value with no financial leverage







0

A B Debt Equity Ratio

Optimal debt

Gambar 8.1. struktur modal optimal dan biaya kebangkrutan ( financial distress )

Sumber : brigham & gapenski, 1999

Keterangan : financial distress adalah biaya kebangkrutan, sedangkan agency cost adalah biaya yang ditimbulkan akibat perilaku agen ( manajer ) tidak sejalan dengan kepentingan pemilik saham atau biaya monitoring pemegang saham terhadap manajemen.

  1. Teori urutan pendanaan ( pecking order theory ) menurut Meyers ( 1984 )

Teori yang berbasis pada informasi asimetri dan memiliki penjelasan yang berbeda dari teori saling tukar ( trade off theory ). Teori ini membedakan ekuitas dari laba ditahan dan penerbitan saham baru. Argumentasi pecking order theory didasarkan pada informasi asimetri sehingga biaya pendanaan eksternal menjadi lebih mahal dan manajer akan menggunakan sumber pendanaan yang memiliki biaya paling murah yakni dari sumber pendanaan internal, bila kebutuhan investasi lebih tinggi dari modal internal, tambahan utang merupakan urutan kedua, dan yang terakhir adalah penerbitan ekuitas baru.

Istilah urutan pendanaan modal ( pecking order ) secara eksplisit dikemukakan oleh Myers mengacu pada studi Gordon Donalson pada tahun 1961 yang menunjukkan bahwa manajer lebih menyukai menggunakan modal internal dari pada modal utang. Myers memperjelas konsep tersebut dan berpendapat keputusan pendanaan ( modal ) mengikuti pecking order theory sebagai berikut :

1. Bank lebih menyukai pendanaan dari sumber internal

2. Bank menyesuaikan target pembayaran dividen terhadap peluang investasi, walaupun dividen bersifat kenyal ( sticky ) dan rasio target pembayaran hanya secara bertahap disesuaikan terhadap peningkatan peluang investasi

3. Kebijakan dividen yang bersifat kenyal ( sticky ) ditambah dengan fluktuasi profitabilitas yang tidak bisa diprediksi, maka ketersediaan modal internal mungkin kurang atau lebih dari pengeluaran investasi

4. Apabila dana eksternal dibutuhkan, lembaga perbankan akan berusaha memilih sumber dana dari utang ( misalnya penerbitan pinjaman subordinasi ) karena dipandang lebih aman dari ekuitas.

Myers dan Majluf ( 1984 ) mengembangkan model ini pada kondisi informasi asimetri dengan mengasumsikan bahwa manajemen bertindak mewakili kepentingan pemegang saham lama dan mengasumsikan pemegang saham lama bersikap pasif.

  1. Teori keagenan tentang aliran kas bebas ( free cash flow )

Persoalan keagenan timbul karena pemisahan antara pemilik yang mendelegasikan wewenang kepada manajer. Bila masing-masing pihak yang berhubungan adalah pemaksimal kegunaan maka hal ini dapat dijadikan alasan bahwa manajer tidak selalu bertindak yang terbaik bagi kepentingan pemilik ( Jensen dan meckeling, 1976 ). Teori keagenan yang secara spesifik membahas aliran kas di kembangkan Jensen ( 1986 ) dengan mengacu pada study Kalay ( 1982 ) dan Easterbrook ( 1984 ) tentang persoalan keagenan dalam pembayaran dividen.

Teori keagenan kas bebas mendasarkan pada dugaan bahwa manajer lebih menyukai modal internal untuk membiayai investasi, karena penggunaan modal internal akan mengurangi keterlibatan pengawasan dari pihak eksternal terhadap keputusan yang dibuat oleh manajer.

Jensen (1986) menjelaskan bahwa pencptaan utang atau penghimpunan dana dapat mendorong manajer untuk mengelola bank efisien. Penerbitan utang atau penghimpunan dana dapat mengganti peran dividen sebagai alat untuk membuat membuat manajer bertindak disiplin dalam melunasi kewajiban pada masa datang dan untuk menghindari ancaman kebangkrutan. Harris dan Raviv (1990) juga berpendapat bahwa penggunaan utang selain meningkatkan disiplin manajer juga membuat manajer bersedia memberikan informasi kepada kreditor atau deposan mengenai prospek bank. Hal ini berarti meningkatkan transparansi bank terhadap pihak investor ataupun deposan.

METODE PENELITIAN

Data Sekunder :
Data yang diperoleh dari buku, artikel, internet dan data lainnya yang merupakan hasil penelitian maupun olahan yang telah ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk dasar modal bank

Modal bank adalah dana yang diinvestasikan oleh pemilik dalam rangka pendirian badan usaha yang dimaksudkan untuk membiayai kegiatan usaha bank di samping untuk memenuhi regulasi yang ditetapkan oleh otoritas moneter. Klasifikasi modal bank secara umum menurut George Hempel pada hakekatnya ada tiga kelompok yaitu:

1. Subordinated debt , yaitu utang kepada pihak lain yang pelunasan nya hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada kreditur lainnya misalnya penitip dana. Subordinated debt biasanya berbunga, bank akan membayar bunga tertentu di masa mendatang

2. Preferred stock, yaitu sejumlah dana tertentu yang ditanamkan oleh pemilik saham yang kewajiban untuk membayar dividen dalam jumlah tertentu hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya pembayaran kepada penitip dana ( deposan )

3. Common stock, yaitu modal dasar yang dimiliki oleh suatu bank yang biasanya terdiri dari dana saham, harga saham diatas pari,cadangan modal dan laba ditahan.

Klasifikasi modal bank menurut otoritas moneter adalah:

1. First tier capital yaitu modal utama yang tertanam di bank tersebut

2. Second tier capital yaitu sejumlah dana modal yang bukan bersumber dari pemilik/pemegang saham bank tersebut.

Fungsi modal bank

Fungsi modal bagi bank adalah:

1. Untuk melindungi deposan dengan menangkal semua kerugian usaha perbankan sebagai akibat salah satu atau kombinasi risiko usaha perbankan misalnya terjadinya insolvency dan likuidasi bank. Perlindungan terutama untuk dana yang tidak dijamin oleh pemerintah.

2. Untuk menigkatkan kepercayaan masyarakat berkenaan dengan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo dan memberikan keyakinan mengenai kelanjutan operasi bank meskipun terjadi kerugian

3. Untuk membiayai kebutuhan aktiva tetap seperti gedung, peralatan dan sebagainya

4. Untuk memenuhi regulasi permodalan yang sehat menurut otoritas moneter

Prinsip dasar manajemen modal bank

Prinsip manajemen modal akan tercermin dari langkah-langkah dalam memperhitungkan kebutuhan modal yang memadai, yaitu :

1. Menyusun Rencana Keuangan Secara Menyeluruh

Dalam penetuan modal bank perlu perencanaan menyeluruh terhadap aspek keuangan bank. Proses perencanaan tersebut dimulai dari analisis kinerja bank yang bersangkutan. Kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan perlu menjadi pertimbangan manajemen bank. Dalam hal ini bank perlu mengidentifikasikan variable-variabel pokok yang dianggap sangat vital dalam operasional bank. Variabel vital tersebut umumnya berupa perkiraan penghimpunan dana pihak ketiga yang dapat dihimpun dari masyarakat misalnya tabungan, giro, deposito, dan kewajiban segera lainnya.

Variabel lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kualitas sumber daya manusia yang akan menggerakkan bank. Kemampuan sumber daya manusia di bank tersebut perlu dipersiapkan.

2. Modal bank yang optimal atau memadai

Penentuan modal bank yang memadai adalah pekerjaan yang tidak mudah. Dalam perspektif teori keuangan, posisi modal bank itu bias dilihat dari posisi leverage nya. Hal ini bias dipahami karena karakteristik unik bank itu sangat gearing atau mempunyai leverage yang sangat tinggi atau modal relatif kecil, yang tercermin dari rasio utang terhadap modal. Dalam pandangan ilmu keuangan semakin tinggi utang semakin baik untuk nilai perusahaan, namun pada titik tertentu akan menimbulkan biaya kebangkrutan. Oleh karena itu posisi modal yang optimal diperlukan.

3. Pemenuhan modal dari internal bank

Dengan terpenuhinya modal dari internal maka menunjukkan bank tersebut mampu tumbuh dengan kekuatan sendiri yaitu dari sisa laba bank. Untuk mempertinggi laba bank diperlukan financial leverage. Financial leverage adalah variabel untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktivanya. Rasio yang digunakan adalah leverage multiplier yaitu perbandingan antara total aktiva dengan total modal bank.

Sebagai ilustrasi berikut profil diperusahaan non bank ( PT A ) dan Bank B.

Tabel 8.1

Ilustrasi komparasi posisi modal perusahaan manufaktur dan bank

Keterangan

PT A

Bank B

Assets

Rp. 1.000.000.000.000

Rp. 1.000.000.000.000

Equity

Rp. 400.000.000.000

Rp. 400.000.000.000

Net earnig

Rp. 100.000.000.000

Rp. 100.000.000.000

Equity/Assets

40 %

10%

Return on Assets

10%

1%

Leverage Multiplier

2,5x

10x

Return On Equity

25%

10%

Return on equity suatu bank dapat dilihat pada table 8.1 yang menunjukkan bahwa untuk bank B relative lebih kecil ( 10%) dibandingkan dengan ROE di PT A ( Sebesar 25%). Hal ini dapat dikatakan wajar karena modal PT A lebih besar dari Bank B. Namun yang perlu dipahami bahwa perolehan ROE di bank B sebesar 10% adalah hal yang sangat memuaskan bagi para pemilik saham di Bank B. Bank B beroperasi dengan modal yang relative kecil ternyata mampu memberikan manfaat keuntungan yang lebih baik mengingat leverage multiplier mencapai 10x daripada PT A yang hanya sebesar 2,5x. Ini menunjukkan bahwa pada skala usaha yang sama dengan perusahaan non bank, untuk mengoperasikan bank tidak diperlukan modal sebesar pada perusahaan non bank.

Dalam konteks pemenuhan modal dari internal, kita bisa memperhatikan leverage ratio yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan modal internal atau Internal Capital Generation Rate ( ICGR ). ICGR ini pada prinsipnya merupakan penentuan modal internal untuk menghindari modal dari luar. Walaupun demikian, informasi ICGR dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan modal dari luar ( capital gap ) bila modal dari dalam bank dianggap tidak memadai.

Dalam menentukan ICGR harus diketahui beberapa variable penting yaitu:

1. Leverage ratio yaitu total aktiva dibagi dengan modal bank

2. Return on Assets yaitu laba setelah pajak dibagi dengan total aktiva

3. Earnig Retention yaitu laba ditahan dibagi dengan total laba

Selanjutnya ICGR dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

TOTAL AKTIVA Laba sebelum Pajak Laba setelah Dividen

ICGR= X X

Total Modal Total Aktiva Total Laba

Laba setelah dividen atau disebut Retention adalah merupakan laba yang diperoleh selama tahun berjalan dan dikurangi dengan dividen yang dibayarkan, sehingga bisa dirumuskan bahwa :

Profit = payout + retention

Atau payout ratio ditambah dengan retention ratio sama dengan 1. Payout ratio adalah perbandingan antara dividen dengan total laba tahun berjalan. Rumus selanjutnya adalah

Payout ratio + Retention ratio = 1

Untuk memperjelas masalah ini berikut diilustrasikan penghitungan ICGR pada sebuah bank.

Tabel 8.2

Neraca Bank Artha Moro per 31 Desember 2008

Aktiva

Jumlah ( Rp)

Pasiva & modal

Jumlah ( Rp )

Kas

200.000.000

Giro

800.000.000

Giro BI

300.000.000

Tabungan

1.200.000.000

Bank-bank lain

800.000.000

Deposito

1.000.000.000

Surat berharga

1.000.000.000

Kewajiban segera lainnya

1.500.000.000

Kredit yang diberikan

2.200.000.000

Pinjaman diterima

1.000.000.000

Penyertaan

1.200.000.000

Aktiva tetap

300.000.000

modal

500.000.000

jumlah

6.000.000.000

6.000.000.000

Tabel 8.3

Laporan laba-rugi Bank Artha Moro per 31 Desember 2008

Rekening

Jumlah ( Rp )

Pendapatan operasional

1.800.000.000

Biaya operasional

1.300.000.000

500.000.000

Pendapatan non operasional

100.000.000

600.000.000

Biaya non operasional

450.000.000

Laba bersih sebelum pajak

150.000.000

pajak

24.000.000

Laba bersih setelah pajak

126.000.000

Bank artha moro pada akhir 2008 menentukan kebijakan dividen sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak. Bank artha moro memprediksi aktiva akan tumbuh sebesar 30% pada 2009. Pertumbuhan aktiva tersebut perlu diimbangi dengan pertumbuhan modal agar dapat mempertahankan rasio modal terhadap aktiva. Untuk mencapai target tersebut Bank artha moro menempuh kebijakan dengan menaikkan retention ratio menjadi 85% dan menargetkan return on assets menjadi 2,5%. Berdasarkan informasi tersebut maka :

1. Hitung tingkat pertumbuhan modal internal pada tahun 2008!

2. Hitung tingkat pertumbuhan modal internal yang diharapkan pada tahun 2009!

3. Hitung posisi modal akhir tahun 2009 yang seharusnya!

4. Hitung capital gap pada akhir tahun 2009, bila bank ingin mempertahankan pertumbuhan aktiva 30% dengan pertumbuhan modal internal 2009 sesuai yang telah diperhitungkan!

Solusi:

1. Tingkat pertumbuhan modal internal pada tahun 2008 dapat ditentukan dengan langkah sebagai berikut:

a. Leverage ratio tahun 2008 adalah 6.000.000.000 / 500.000.000 = 12 kali atau rasio modal terhadap aktiva sebesar 8,33%

b. ROA tahun 2005 sebesar ( 126.000.000/6.000.000.000 ) x 100% = 2,1%

c. Kita ketahui bahwa payout ratio + retention ratio = 1, dengan memasukkan payout ratio 20% (lihat kebijakan dividen ) maka 20% + retention ratio=1,dengan demikian retention ratio tahun 2005 = 0,8 atau 80%

d. Dengan demikian tingkat pertumbuhan modal internal = 12 x 2,1% x 0,8 atau sama dengan 20,16%. Pemenuhan modal internal sebesar 20,16% ini tanpa mengurangi rasio modal terhadap aktiva bank

2. Tingkat pertumbuhan modal internal yang diharapkan pada 2009 bila bank ingin tetap mempertahankan rasio modal terhadap total aktiva sebesar 8,33% atau leverage ratio sebesar 12, akan tetapi retention ratio ditetapkan menjadi 85% dan ROA menjadi 2,5 % . maka pertumbuhan modal internal Bank Artha Moro tahun 2009 yang ditargetkan adalah sebesar : 12 x 2,5% x 0,85 % = 25,5%

3. Posisi modal bank akhir tahun 2009 dengan asumsi aktiva tumbuh 30% pada tahun 2009 dapat ditentukan :

a. Pertumbuhan aktiva 30% x 6.000.000.000 = 1.800.000.000 atau aktiva bank menjadi Rp 1. 800.000.000 + 6.000.000.000 = Rp. 7.800.000.000

b. Tingkat pertumbuhan modal internal tahun 2009 diprediksi sebesar 25,5% dengan demikian posisi modal bank pada akhir tahun 2009 diprediksi menjadi ( 500.000.000 x 25,5%) + 500.000.000 = Rp 627.500.000

4. Bila Bank Artha Moro ingin mempertahankan leverage ratio sebesar 12 kali, dan pertumbuhan aktiva 30%, maka capital gap dapat diperhitungkan sebagai berikut :

a. Leverage ratio = Total aktiva : Total Modal

b. 12 = 7.800.000.000 / ( 627.500.000 + Modal dari luar )

c. Capital gap = ( 7.800.000.000/12) – 627.500 = Rp 22.500.000

Jadi untuk mempertahankan pertumbuhan asset sebesar 30% dan leverage ratio pada tahun 2006, Bank Artha Moro harus menutup capital gap sebesar Rp 22.500.000. capital gap ini bisa dipenuhi dengan penerbitan saham baru atau dari pihak eksternal bank.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kebijakan dividen dapat digunakan untuk mengurangi aliran kas yang besar. Dalam kondisi bank memiliki aliran kas bebas tinggi, kebijakan dividen berfungsi sebagai substitusi utang dalam mekanisme pengawasan manajemen ( control manajemen ). Berdasarkan teori keagenan, mekanisme pengawasan melalui kebijakan dividen dan kebijakan utang dapat bersifat substitusi. Penggunaan kebijakan dividen atau kebijakan utang sebagai mekanisme control manajemen terkait dengan tingkat ketersediaan modal internal. Peningkatan pembayaran dividen cenderung dipakai pemilik untuk mengontrol manajer perusahaan yang memiliki modal tinggi. Dengan demikian kebijakan dividen cenderung berubah setiap waktu tergantung kondisi yang dihadapi perusahaan. Penjelasan teori keagenan ini tentang perubahan kebijakan dividen tersebut berbeda dengan penjelasan pecking order theory yang berasumsi bahwa dividen bersifat kenyal ( sticky ). Namun perubahan kebijakan dividen dapat terjadi apabila manajemen tidak dapat mempertahankan tingkat pembayaran dividen tertentu secara permanen.

Hasil penelitian ini diharapkan :

a. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenal sistem lembaga keuangan yang ada di Indonesia khususnya perbankan.

b. Dapat menjadi masukan dan referensi khususnya mengenai sistem perbankan bagi kalangan akademis maupun masyarakat umum.

c. Dapat menjadi bahan pijakan untuk penelitian selanjutnya
.

DAFTAR PUSTAKA

brigham & gapenski, 1999

brigham, Eugene E, & Philip R. Daves, 2002, Intermediate Financial Management, south-western Thomson Learning, singapore

Jensen, M.C.,1986 Agency Cost of Free Cash Flow, Corporate finance and Takeovers, American Economic Review, 76, May, 323-329

Kalay, A, 1982, Stockholder-Bondholder Conflict and Dividend Constraints, Journal of Financial Economic, 10, July, 211-233

Miller, H Merton, 1998, The Current Southeast Asia Financial Crisis, Pacific Basin Financial Journal, p 225 – 233

Myers,S.C., 1984, Capital Structure Puzzle, Journal of Finance 39(3), July, 575 - 592

Myers, S.C.,and N.S. Majluf, 1984, Corporate Financing and Investment Decisions When Firms Have Information Investors Do Not Have, Journal of Financial Economics, 13, June,187 - 221